Apa artinya
sebuah nama? Nama menurut salah satu filsafat dan pepatah Jawa kadang juga
mengandung maksud dan tujuan. Dalam Bahasa Jawa “Asmo Kinaryo jopo”.
Dalam keseharian
kita juga melihat seorang ibu memberi nama anaknya bernama “Bejo” dengan harapan anaknya menjadi
orang yang selalu beruntung. Ada juga dalam Bahasa Sansekerta seekor burung
diberi nama “paksi” yang artinya hanya untuk memperindah. Yang jelas nama
dibuat mengandung maksud dan tujuan. Begitu juga nama dan asal usul Desa Gentan
di Kecamatan Bulu.
Pada jaman
dahulu jauh sebelum NKRI merdeka tepatnya di sebuha dukuh kecil di lereng utara
Gunung Gedhe Gajah Mungkur (sekarang dukuh Baseng) tinggallah seorang tokoh
sakti yang bernama Kyai Bas tinggal
ebrnama istri dan di sebelah utara Baseng ada tanah pertanian subur seluas satu
lupit (100 patok) milik Kyai Kerto yang berasal dari daerah
Dk. Kerten dis ebelah utara Dk. Baseng (Dk. Kerten sekarang masuk wilayah Desa
Tiyaran).
Pada suatu hari
tanah bumi Kerten yang terkenal subur mengalami kekurangan air, karena di
wilayah pedukuhan Baseng dibuat “Kekitren” (kebun sayuran) oleh Kyai
Bas. Pada saat itu datanglah Kyai Kerto ke bumi Migit (sebuah tempat di dukuh
Baseng) dan berteriaklah Kyai Kerto saatitu, “ barang siapa mampu mencabut
pohon kelapa (dalam bahasa jawa glugu) di bumi Migit ini, maka dia akan
mendapatkan hadiah bumi Kerten dengan luas satu lupit (100 patok) berserta
isinya”.
Ucapan dan
teriakan Kyai Kerton saat itu tenyata ditunjukan kepada Kyai Bas yang saat itu
berada tidak jauh dari areal bumi Migit.
Ketika itu tidak
ada satu penduduk pun yang mendekat dan menanggapi ucapan dan sayembaradari
Kyai Kerto, hal ini adalah wujud kepatuhan warga terhadap Kyai Bas sebagai
pemimpin atau tokoh saat itu.
Namun saat itu
Kyai Kerto menunjukkan kedikdayan dan kesaktiannya dengan olah kanuragan untuk
mencabut pohon kelapa (glugu). Ternyata pohon kelapa (glugu) di sekitar bumi
Migit tidak atupun bisa dicabut dari akarnya, hanya pelepah yang bisa ditarik
oleh Kyai Kerto (dalam Bahasa Jawa “ditiyungke”)
Melihat ulah
Kyai Kerto saat itu Kyai Bas mendekat ke bumi Migit dan mencabut semua pohon
kelapa di areal bumi Migit, semua pohon kelapa (glugu) dikumpulkan oleh Kyai
Bas di sekitar mata air di sebelah selatan bumi Migit dan ditata sehingga
terbentuklan kandangan berbentuk segi empat yang sekarang disebut oleh warga
Baseng bernama “Sendang Kyai Bas” atau
Blumbang Kyai Bas”.
Melihan fenomena
dan kejadian itu maka Kyai Kerto tidak bisa berbuat apa-apa dan tertegun, namun
ada pepatah dan falsafat Jawa mengatakan “Sabda
Pandito tan keno wola-wali”, apa yang menjadi ucapak Kyai Kerto pada
sayembara di bumi Migit tidak boleh berubah-ubah (wola-wali), sehingga sebagai
seorang Kyai (golongan pendhito atau brahmana dalam Bahasa Jawa) maka Kyai
Kerto harus bawa laksana artinya apa yang menjadi ucapan harus
dilaksanakan, dan akhirnya bumi kerten dan isinya diserahkan kepada Kyai Bas
dan akhirnya menjadi Bumi Perdikan (bumi Kemengan), yang
sampai saat ini menjadi simbol kemenangan dan kejayaan Pemerintah Desa Gentan
yang digunakan menjadi tanah adat sebagai tanah bengkok (tanah kas desa) yang
hasil lelanganya digunakan untuk menggaji kepala desa dan perangkatnya.
Keberadaan Bumi Kerten sebagai tanah adat ini sebagai simbol kedaulatan desa,
sebagai Pranata Adat dan Pranata Sosial dalam pemerintah di tingkat desa.
Keberadaan bumi
kerten ini juga sebagai pilar penyangga wisata Kabupaten Sukoharjo dan wisata
Nasional karena bumi Kerten menjadi obyek wisata milik Desa Gentan yang diapit
oleh keberadaan Cagar Alam Gunung Sepikul.
Setelah Kyai
Kerto menyerahkan bumi Kerten kepada Kyai Bas, maka Kyai Kerto menyatakan diri
ingin menjadi murid Kyai Bas. Seketika itu di daerah Kerten sulit mata air atau
tidak ada mata air di dukuh Kerten. Permintaan Kyai Kerto untuk menjadai murid
Kyai Bas diterima oleh Kyai Bas dengan sebuah syarat : keturunan Kyai Kerten
tidak boleh menikah dengan keturunan Kyai Bas, dan syaratnya disanggupi oleh
Kyai Kerto. Namun ada permintaan dari Kyai Kerto bahwa warga Kerten dalam
kebutuhan sehari-hari agar tercukupi air bersihnya akan meminta air secukupnya
di daerah yang berada di wilayah Kyai Bas dan sekitarnya. Kyai Bas dengan
ketulusan hatinya memberikan ijin untuk pengambilan air di daerahnya oleh warga
Kyai Kerto saat itu jagat isinya dan Dewata atau Allah SWT memberi keajaiban
pada daerah tempat Kyai Bas diberi banyak mata air yang melimpah (seperti
Blumbung Kyai Bas, Pancuran Sendang Lel, Sendang Ayu, Sendang Lengkong Sari,
Sendang Songo dan lain-lain)
Pada saat bumi
Kerten memiliki Kyai Bas, tanahnya menjadi subur dan bertepatan dengan acara metik
(panen raya), dikabarkan bahwa istri Kyai Bas melahirkan seorang bayi
laki-laki pada hari Jum’at Kliwon. Bayi tersebut diberi nama Baseng yang pada akhirnya bayi Baseng
meneruskan sejarah Kyai Bas dengan kearifan dan sikap bijaksana, karena
cintanya kepada putranya mana nama Baseng
diabadikan menjadi nama dukuh tempat tinggal Kyai Bas sebagai simbol
kemenangan dan kemakmuran.
Dan hari Jum’at
Kliwon digunakan untuk hari lahirnya dukuh Baseng. Dan mayoritas penduduk Dukuh
Baseng menggunakan hari Jum’at Kliwon untuk acara rasulan/bersih dusun dan
acara merik panen raya.
Dengan
berkembanganya Basen menjadi perkampungan besar, maka Kyai Bas membuat
ketetapan bahwa nanti wilayah di Baseng akan berkembang ke arah barat dan
selatan di lereng Gunung Gedhe Gajah. Di wilayah barat sampai wilayah Sendang
Longkong Sari, Sendang Songo dan Pohon Payaman. Di wilayah selatan dan barat
daya di lereng Gunung Gedhe di umbul Pacinan, umbul Bendho diwilayah pohon
Tanjung dan pohon Kepuh dan yang paling barat adalah di wilayah pohon Miri,
pohon Kelor, dan ladang tanaman garut yang sekarang berkembang pesar menjadi
perkampungan.
Penetapan Kyai
Bas terhadap wilyaha tersebut juga diikuti dengan tata batin yang tulus bahwa
nantinya wilayah-wilayah tersebut akan juga muncul orang-orang sakti, bijak
dana rif (atau dalam bahasan Jawa disebut Gento yang berarti
linuwih/pinunjul), sehingga wilayah yang disebut oleh Kyai Bas akan menjadi
wilayah yang makmur, gemah ripah loh jinawi. Sehingga wilayah Gento atau
orang-orang linuwih tersebut menjadi wilayah bernama GENTAN.
Jadi jelas dalam
catatan sejarah desa ini bahwa Gentan dengan perkembangan jaman akan menjadi
daerah yang akan muncul orang-orang pinunjul dan berguna, namun ketetapan Kyai
Bas tersebut diikuti wasiat dan pepali bahwa tanah dan wilayah Desa gentan akan
subur dan makmur apabila warganya mengikuti semua aturan/pranata adat yang
dikenal dengan kearifan dan sosok Gento atau orang-orang linuwih (pemimpin)
yang berpihak terhadap rakyat dengan kerarifan dan kebijakannya.
Sehingga sampai
saat ini ada wilayah atau desa bernama Desa Gentan yang dimulai dari Dusun
Baseng yang terkenal dengan beberpa tempat yaitu : Bumi Kerten, Gunung Sepikul, Bumi
Migit, Sendang/blumbung Kyai Bas, Pancuran/sendang lele, dan Sendang Sari di
dukuh Lengkong Sari, Sendang Songo yang sekarang tinggal
3 tempat yaitu Sendang Wali, Sendang Lanang dan Sendang Kaputran yang
kesemuanya berada di Dusun Gentan. Dan paling ujung barat laut di tempat pohon
Payaman yang besar dinamakan Dukuh Payaman.
Di dukuh Payaman
ada makam R. Joko Humyang/R. Haryo Tiron/R. Haryo Kusumo atau masyarakat
menyebutnya dengan Br. Kriyo Kusumo. Beliau
adalah tokoh era Majapahit menuju kejayaan Demak Bintoro Radek Kriyo Kusumo/R.
Haryo Kusumo adalah putra Prabu
Brawijaya V yang ke-52 diantaranya seratur sebelas putra Prabu Brawijaya V yang
lain (R. Haryo Damar Adipati Palembang, R. Jaka Maya/Prabu Dewa, Ketut di Bali,
R. Joko Sujaluna Adipati Blambangan, R. Patah Sultan Demak Bintoro I.R. Joko
Piturun/Adipati Batoro Katong di Ponorogo, R. Joko Loba/Kyai Ageng Pilang/Kyai
Ageng banyu Biru/Kyai Ageng Purwoko Sidik, R. Joko Balora/R. Sumabahu di Gunung
Gajah Mungkur, R. Joko Bidho / R. Sutawijoyo di Majasto dan banyak lagi di
anatara seratur sebelas putra Prabu Brawijaya V yang lainya.
Raden Kriyo
Kusuma termasuk putra Brawijaya V yang paling
arif dan dikenal paling bijaksana. Selain R. Jaka Loba / Kyai Ageng
Banyubiru yang terkenal titis tata
batiniyahnya.
Wilayah dusun
yang ke-3 adalah Dusun Bodeh : dari sebelah baratdaya Desa Gentan adalah Dukuh
Mirikerep yang beresal dari
kata mirip dan kerep (miri adalah nama sebuah pohon, dan kerep berati banyak). Di sebalah utara
Dukuh Mirikerep atau wilayah kebun dan tegalan yang dimaksud Kyai Bas yaitu
kebun tanaman garut, sekarang menjadi Dukuh Garutan. Di sebelah Timur
Mirikerep ada 2 dukuh bernama Keringan dan Dkuh Kelor, dinamakan Dukuh
Keringan berada di sebelah kering atau sebelah kiri pengunungan, dan
dinamanakan Dukuh kelor diambil dari sebuah nama pohon dan tempat yaitu sendang Kelor dan pohon kelor. Di
sebelah timur dan utaranya yaitu Dukuh Sungsang, Bodeh, Kepuh. Nama Dukuh
Kepuh diambil dari nama pohon yang berada di dukuh tersebut bernama pohon
kepuh yang sekarang sudah roboh. Di dukuh Kepuh ada dua pohon yaitu pohon
kepuh dan randu alas yang jama dulu menjadi patokan ketika petani mau mengawali
masa tanam di awal musim penghujan (labuhan). Jika pohon kepuh dan randu alas tersebut daunya gugur dan buah randu
pecah maka penduduk mulai mengarapa ladangnya, ketika dua pohon tersebut mulai
semi, itu pertanda musim tanam dimulai atau musim penghujan (labuhan). Dan masih ada dua dukuh lagi
di sebelah tenggara yaitu Dukuh Tanjung
dan Pacinan. Nama Dukuh
Tanjung tersebut juga diambil dari nama
sebuah pohon bernama pohon tanjung
utara Dukuh Tanjung di bangun Embun Gentan seluas ±1,5 ha, yang
cukup unik dan menarik “Pundung Tnajung” yang berada di selatan Embung Gentan
tidak dijadikan areal henangan, dengan desain konstruksi pada Embung Gentan
dibuat tanggul. Hal ini permintaan dari kepala Desa Gentan yang menjabat saat
dibangunnya embung Gentan saat itu, yaitu DWI CAHYONO, ST pada tahun 2010.
Selain itu juga ada pertimbangan lain adanya bengkok (tanah kas) dis elatan
embung Gentan dan pertimbangan teknis lainya juga berkaitan dengan kemampuan
pengairan lahan pertanian. Karena embung ini di desain untuk air baku, wisata
dan irigasi pertanian.
Di sebelah
selatan dukuh Tnajung ada mata air (umbul) bernama Umbul Bendo dan Sendang
Lanang uang merupakan asal wisata milik desa. Dukuh yang paling tenggara persis
di lereng Gunung Gedhe Gajah Mungkur adalah dukuh Pacinan. dukuh Pacinan
diambil dari nama pohon Pacing yang muncul di sekitar mata air di sepanjang
sungai di Obyek Wisata Baru Seribu dan muncul ketika musim hujan datang. Namun
Batu Seribu itu sendiri dikenal masyarakat Sukoharjo ketika baru seribu
dicanangkan oleh salah satu Bupati Sukoharjo yangbernama Setiyawan Sadono saat
masih menjabat. Obyek Wisata Batu Seribu dikelola oleh Dinas Pariwisata dan
dikepung seta dikeliling oleh obyek wisata desa yang menjadi pilar penyangga
wisata Nasional.
Dalam sejaran
desa tercatat secara sistematis pada zaman kolonial yaitu tahun 1928-1937 desa
Gentan dipimpin oleh seorang Demang bernama Demang Drono, beliau meninggal dan
dimakamkan di dukuh Soko desa Kedungsono. Selanjutnya pada masa perjuangan era
kemerdekaan desa Gentan di pimpin seorang Demang bernama KRT Sastro Raharjo
yang memimpin pada tahun 1937-1946, beliau meninggal dan dimakamkan di makan
Kramat Gede Baseng.
Maka tercatat
dalams ejarah desa tahun 1925 adalah tahun bersejahar berdirinya pranata
pemerintahan bernama Desa Gentan dalam ketaranegaraan :
Adapun Kepala Desa yang
pernah menjabat adalah sebagai berikut :
Demang : Soko Drono Tahun 1925-1937
Demang : KRT sastro Raharjo Tahun 1937-1946
Kepala Desa I : Marto Wiyono Tahun 1946-1975
Kepala Desa II : Suharno R Tahun
1975-1986
Kepala Desa III : Sukimo Tahun
1986-2006
Kepala Desa IV : Dwi Cahyono, ST Tahun 2006-2012
Kepala Desa V : Kardaya Thaun
2012-2018
Demikian sejarah
desa ini di tulis untuk mengenal khasanah desa di segala ciri khasnya. Dengan
kata lain desa Gentan adalah desa wisata untuk masa depan.
Terima kasih
kami ucapkan kepada nara sumber dan semoga bermanfaat bagi para pembaca dan
kawula muda. Amin ya robbal alamin
Subscribe to:
Postingan (Atom)